Jakarta 4/3/2024. Pemilihan Umum telah dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024, namun uap panas dari ketidakpastian hukum masih belum dapat didinginkan. Berbagai spekulasi bermunculan terkait adanya kecurangan-kecurangan dalam proses penghitungan suara quick count. Saat Komisi Pemilihan Umum masih merampungkan penghitungan suara di tingkat TPS (Tempat Pemungutan Suara).

Pemilu dilaksanakan sebagai amanah Konstitusi sebagaimana dinyatakan pada Pasal 22E UUD 1945 (mengatur Pemilihan Umum Legislatif dan Eksekutif). Apabila Pemilu dilaksanakan sesuai dengan hukum, maka tentunya keberatan-keberatan atas hasil Pemilu wajib dilaksanakan sesuai dengan aturan hukum. Para pihak yang tidak puas terhadap hasil Pemilu dapat melakukan upaya hukum terhadap penetapan KPU tersebut.

Penyelesaian perselisihan hasil pemilu diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Selain itu terdapat pula ketentuan lanjutan terkait sengketa pilpres yang tertuang dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Pengajuan upaya hukum diajukan maksimal 3 hari sejak pengumuman. Menurut Pasal 74 ayat (3) UU MK, Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum atau PHPU hanya dapat diajukan dalam jangka waktu maksimal 3 hari sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan penetapan hasil pemilu secara nasional.

Pihak pemohon harus menguraikan kesalahan hasil penghitungan suara. Dalam hal permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas terkait kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon.

Sampai dengan saat ini, beberapa politisi maupun akademisi secara terbuka telah menyatakan ketidakpuasannya terhadap proses Pemilu 2024 dan menyatakan distrust terhadap legitimasi Pemilu 2024. Salah satunya adalah Masinton Pasaribu, yang merupakan Anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P ini menyatakan dengan tegas terkait hal ini. Masinton mengingatkan kembali bahwa Pemilu harus didasarkan pada asas Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia (LUBER) - Jujur dan Adil (Jurdil)

Terkait dengan asumsi-asumsi dan teori konspirasi yang saat ini beredar di masyarakat, praktisi hukum dan pengamat penegakkan konstitusi - Okky Rachmadi S., SH, CLA, ERMAP, CIB menyampaikan bahwa sebaiknya masyarakat tidak terpengaruh dengan prasangka-prasangka di media sosial.

"Saya berusaha untuk meyakini bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang logis. Indonesia ini negara hukum. Pelanggaran terhadap hukum yang membatalkan hasil Pemilu tentunya harus disertai bukti-bukti. Dalam hukum disebut dengan factum probans. Jangan sampai kita terpengaruh terhadap ketidakpuasan beberapa golongan terhadap hasil Pemilu, lalu langsung mengambil konklusi. Sebelum adanya putusan res judicata (berkekuatan hukum tetap) dari Mahkamah Konstitusi, jangan sebarkan kegelisahan di masyarakat. KPU saja belum beres menghitung, kok sudah menerawang kemana-mana! Ini bukan tebak-tebakan angka dadu"

Okky Rachmadi juga mengatakan bahwa sebagai seorang warga negara, dia memiliki kekhawatiran dan ketidakpuasan terkait proses Pemilu 2024, namun sebagai praktisi hukum, Okky meyakini bahwa struktur dan substansi dalam sistem hukum Indonesia telah mengakomodir upaya penyelesaian sengketa dan penegakkan hukum terkait hal ini. 

"Kalau memang nanti terbukti ada kecurangan...dan ini tidak hanya oleh pemenang ya ! Karena yang kalah juga bisa saja curang, tapi tidak sukses. Ini berlaku untuk seluruh pihak-pihak yang berkompetisi untuk kekuasaan dalam Pemilu 2024 - kecurangan tersebut akan menjadi bumerang. Kalau terbukti pada sidang MK ya sial saja dia. Yang parah kalau diketahui setelah diangkat atau malah diturunkan paksa oleh mahasiswa dan elemen rakyat lainnya. Malunya sampai anak cucu", tutup Okky."  

Ucokdom

Ribut-ribut Hasil Pemilu 2024: Selesaikan Secara Hukum/Dengan Cara Yang Bermartabat

Ngamprah 13/3/2024. Gugatan Perwakilan Kelompok konsumen pembeli rumah di Perumahan Grand Madani Village Bandung akhirnya memulai babak baru. Setelah beberapa kali panggilan pengadilan dianggap tidak patut dan tidak sah dikarenakan para Tergugat tidak memiliki alamat yang jelas, akhirnya Pengadilan Agama Ngamprah memutuskan untuk melanjutkan persidangan tanpa kehadiran Para Tergugat.

Selanjutnya...klik